Rusia mengatakan, kemungkinan besar Presiden Suriah Bashar Assad lengser dari jabatannya sebagai kesepakatan untuk menghentikan pertumpahan darah di Suriah. Sebelumnya Pemerintah Suriah mengizinkan relawan mengunjungi empat tempat lokasi pertempuran.
"Kami tidak pernah mengatakan atau pun mendesak Assad harus tetap berada pada kekuasaannya, sebagai akhir dari proses politik (di Suriah). Isu ini harus diselesaikan sendiri oleh rakyat Suriah," ujar Deputi Menteri Luar Negeri Rusia Gennady Gatilov, seperti dikutip Itar-Tass, Rabu (6/6/2012).
Selama ini, Negeri Beruang Merah berada di bawah tekanan dunia internasional untuk mendesak Assad keluar dari kekuasaannya. Rusia memang memiliki hubungan dekat dibandingkan negara-negara lain.
Pernyataan terbaru dari Rusia ini merupakan bentuk eksplisit mengenai posisi Rusia atas Suriah, sejak Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menolak untuk memberikan dukungan secara jelas terhadap Suriah.
Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Hu Jintao terus melakukan pertemuan guna membahas situasi di Suriah. Berdasarkan Wakil Tetap China di PBB yang menemani pertemuan itu, Suriah didesak untuk menghentikan pertumpahan darah yang terjadi.
Sebelumnya, China dan Rusia sudah dua kali menggunakan hak veto mereka untuk memblokir sanksi tegas terhadap rezim Assad. Kini kedua negara tersebut sepertinya mulai memikirkan kembali sikap mereka menyusul pembantaian di Kota Houla yang menewaskan 108 warga.
Kini dengan diizinkannya misi relawan dan pemantau PBB di empat wilayah yang menjadi lokasi pertempuran berdarah di Suriah, ada kemungkinan bahwa Assad akan lengser dari jabatannya sebagai bagian dari kesepakatan. Namun hal tersebut masih harus dibuktikan dengan langkah yang jelas dari Rusia. |