Ketika Sandra Tamari tiba di bandara internasional Israel, dia mendapat permintaan tak biasa. Seorang petugas keamanan menyodorkan sebuah komputer di hadapannya, membuka Gmail, lalu memintanya untuk "log in".
Mencurigai Tamari terlibat dalam gerakan pro-Palestina, petugas itu berniat memeriksa akun e-mail pribadi untuk menemukan bukti. Warga negara Amerika Serikat keturunan Palestina itu menolak permintaan tersebut. Tanpa banyak omong, petugas itu pun mengusirnya dari negara itu.
Bukan Tamari saja yang mengalami hal ini. Israel mulai memberlakukan peraturan yang memaksa orang asing yang memasuki negara itu untuk membuka akun e-mail pribadinya.
Target utamanya adalah orang-orang Arab atau Muslim. Praktik ini tampaknya bertujuan untuk meminimalkan pengunjung yang memiliki sejarah aktivitas pro-Palestina. Dan, dalam beberapa pekan terakhir, praktik ini membuat tiga perempuan AS terusir dari negara itu.
Belum jelas seberapa luas praktik ini dijalankan di seluruh Israel.
Namun, saat ditanya tentang klaim Tamari, badan keamanan Israel, Shin Bet, membenarkan kejadian itu. Instansi itu membenarkan bahwa Tamari memang diinterogasi dan berdalih petugas-petugas mereka sudah bertindak sesuai hukum.
Mencurigai Tamari terlibat dalam gerakan pro-Palestina, petugas itu berniat memeriksa akun e-mail pribadi untuk menemukan bukti. Warga negara Amerika Serikat keturunan Palestina itu menolak permintaan tersebut. Tanpa banyak omong, petugas itu pun mengusirnya dari negara itu.
Bukan Tamari saja yang mengalami hal ini. Israel mulai memberlakukan peraturan yang memaksa orang asing yang memasuki negara itu untuk membuka akun e-mail pribadinya.
Target utamanya adalah orang-orang Arab atau Muslim. Praktik ini tampaknya bertujuan untuk meminimalkan pengunjung yang memiliki sejarah aktivitas pro-Palestina. Dan, dalam beberapa pekan terakhir, praktik ini membuat tiga perempuan AS terusir dari negara itu.
Belum jelas seberapa luas praktik ini dijalankan di seluruh Israel.
Namun, saat ditanya tentang klaim Tamari, badan keamanan Israel, Shin Bet, membenarkan kejadian itu. Instansi itu membenarkan bahwa Tamari memang diinterogasi dan berdalih petugas-petugas mereka sudah bertindak sesuai hukum.
Muslim, Arab, India jadi target
Israel sudah lama memiliki sejarah penggunaan penggolongan berdasarkan etnis. Negara itu menyebut hal itu perlu dilakukan karena ada pengalaman buruk terkait terorisme. Para pelawat Arab atau siapa pun yang dinilai membahayakan sering menjadi obyek pemeriksaan yang intens dan ketat, termasuk pemeriksaan fisik dengan cara membuka pakaian.
Prosedur keamanan itu tampaknya makin ketat. Dalam beberapa waktu terakhir, penggeledahan terhadap jurnalis pada acara-acara resmi pun sangat menyeluruh dan mengganggu hingga menimbulkan protes sampai boikot.
Diana Butto, mantan penasihat hukum untuk Otoritas Palestina dan pengajar di Harvard Kennedy School of Government, mengatakan, kebijakan untuk pemeriksaan e-mail itu awalnya dilakukan secara acak. Namun, kini tampaknya praktik itu makin luas digunakan.
Butto mengatakan pernah memimpin tiga kelompok perjalanan di wilayah Israel tahun lalu. Dalam setiap kelompok yang dipimpinnya, setidaknya satu anggota rombongannya diminta membuka akun e-mail. Kata Butto, orang Muslim, Arab, atau India biasanya menjadi sasaran. Pada sebagian besar kasus, mereka akhirnya dicekal masuk Israel.
Petugas-petugas keamanan di bandara, ujar Butto, selalu meminta jadwal perjalanan mereka, catatan yang pernah mereka unggah atau tulis di status Facebook.
"Masalahnya, tidak mungkin Anda bisa berkunjung ke Tepi Barat tanpa terjebak dalam perangkap-perangkap keamanan," ujar Butto. "Berbohong dengan risiko ketahuan berbohong atau berterus terang... tidak jelas Anda akan mendapat izin masuk atau tidak."
Israel sudah lama memiliki sejarah penggunaan penggolongan berdasarkan etnis. Negara itu menyebut hal itu perlu dilakukan karena ada pengalaman buruk terkait terorisme. Para pelawat Arab atau siapa pun yang dinilai membahayakan sering menjadi obyek pemeriksaan yang intens dan ketat, termasuk pemeriksaan fisik dengan cara membuka pakaian.
Prosedur keamanan itu tampaknya makin ketat. Dalam beberapa waktu terakhir, penggeledahan terhadap jurnalis pada acara-acara resmi pun sangat menyeluruh dan mengganggu hingga menimbulkan protes sampai boikot.
Diana Butto, mantan penasihat hukum untuk Otoritas Palestina dan pengajar di Harvard Kennedy School of Government, mengatakan, kebijakan untuk pemeriksaan e-mail itu awalnya dilakukan secara acak. Namun, kini tampaknya praktik itu makin luas digunakan.
Butto mengatakan pernah memimpin tiga kelompok perjalanan di wilayah Israel tahun lalu. Dalam setiap kelompok yang dipimpinnya, setidaknya satu anggota rombongannya diminta membuka akun e-mail. Kata Butto, orang Muslim, Arab, atau India biasanya menjadi sasaran. Pada sebagian besar kasus, mereka akhirnya dicekal masuk Israel.
Petugas-petugas keamanan di bandara, ujar Butto, selalu meminta jadwal perjalanan mereka, catatan yang pernah mereka unggah atau tulis di status Facebook.
"Masalahnya, tidak mungkin Anda bisa berkunjung ke Tepi Barat tanpa terjebak dalam perangkap-perangkap keamanan," ujar Butto. "Berbohong dengan risiko ketahuan berbohong atau berterus terang... tidak jelas Anda akan mendapat izin masuk atau tidak."
Paspor AS tak menjamin
Tamari, yang berasal dari St Louis, mengatakan, dia tiba di Israel pada 21 Mei lalu untuk menghadiri sebuah konferensi antarumat beragama. Dia menyebut dirinya sebagai seorang aktivis perdamaian Quaker dan mengaku berpartisipasi dalam kampanye anti-Israel.
Dia menduga gara-gara aktivitasnya itu, dia hanya akan mengalami beberapa penundaan. Namun, dia tidak menyangka dengan perintah untuk membuka e-mail. Katanya para petugas itu mengetahui alamat e-mail-nya ketika memeriksa dokumen-dokumen pribadinya.
"Saat itulah mereka menghadapkan layar monitor komputer kepada saya dan bilang 'log in'. Ketika saya menolak, petugas itu bilang 'Anda pasti teroris. Anda menyembunyikan sesuatu'," Tamari berkisah.
Tamari mengatakan, dia digeledah, dimasukkan ke sel, dan diterbangkan ke AS keesokan harinya. "Saya tidak pernah membayangkan, orang seumuran saya, seorang Quaker, dalam rombongan perdamaian dari AS, bakal dilarang masuk Israel," ujarnya.
Seorang mahasiswa AS keturunan Palestina lainnya, Najwa Doughman (25), mendapat pengalaman serupa. Perempuan asal New York itu berniat berlibur selama seminggu di Israel pada 26 Mei lalu.
Seorang perempuan pemeriksa memerintahkannya untuk membuka akun e-mail-nya. Petugas itu mengancam tidak memberinya izin masuk jika dia menolak.
"Dia membuka gmail.com dan menyorongkan keyboard kepada saya dan bilang 'Log in. Log in now'," kenang Doughman. "Saya tanya dia 'apakah ini legal?', Dia menjawab, 'log in.'"
Setelah akun e-mail-nya terbuka, petugas itu mencari dengan kata kunci "West Bank" dan "Palestine". Petugas itu juga menertawakan chat di mana Doughman berbicara tentang grafiti pada tembok pembatas Israel di Tepi Barat.
"Setelah dia membaca beberapa, mempermalukan dan mengejek, saya bilang, saya rasa yang Anda baca sudah cukup." kata Doughman. Ditambahkannya, petugas-petugas itu mencatat nama dan alamat e-mail teman-temannya.
Sementara itu, teman seperjalanan Doughman, Sasha Al-Sarabi, mengatakan, sejumlah agen menariknya lalu memintanya membuka akun Facebook.
Tamari, yang berasal dari St Louis, mengatakan, dia tiba di Israel pada 21 Mei lalu untuk menghadiri sebuah konferensi antarumat beragama. Dia menyebut dirinya sebagai seorang aktivis perdamaian Quaker dan mengaku berpartisipasi dalam kampanye anti-Israel.
Dia menduga gara-gara aktivitasnya itu, dia hanya akan mengalami beberapa penundaan. Namun, dia tidak menyangka dengan perintah untuk membuka e-mail. Katanya para petugas itu mengetahui alamat e-mail-nya ketika memeriksa dokumen-dokumen pribadinya.
"Saat itulah mereka menghadapkan layar monitor komputer kepada saya dan bilang 'log in'. Ketika saya menolak, petugas itu bilang 'Anda pasti teroris. Anda menyembunyikan sesuatu'," Tamari berkisah.
Tamari mengatakan, dia digeledah, dimasukkan ke sel, dan diterbangkan ke AS keesokan harinya. "Saya tidak pernah membayangkan, orang seumuran saya, seorang Quaker, dalam rombongan perdamaian dari AS, bakal dilarang masuk Israel," ujarnya.
Seorang mahasiswa AS keturunan Palestina lainnya, Najwa Doughman (25), mendapat pengalaman serupa. Perempuan asal New York itu berniat berlibur selama seminggu di Israel pada 26 Mei lalu.
Seorang perempuan pemeriksa memerintahkannya untuk membuka akun e-mail-nya. Petugas itu mengancam tidak memberinya izin masuk jika dia menolak.
"Dia membuka gmail.com dan menyorongkan keyboard kepada saya dan bilang 'Log in. Log in now'," kenang Doughman. "Saya tanya dia 'apakah ini legal?', Dia menjawab, 'log in.'"
Setelah akun e-mail-nya terbuka, petugas itu mencari dengan kata kunci "West Bank" dan "Palestine". Petugas itu juga menertawakan chat di mana Doughman berbicara tentang grafiti pada tembok pembatas Israel di Tepi Barat.
"Setelah dia membaca beberapa, mempermalukan dan mengejek, saya bilang, saya rasa yang Anda baca sudah cukup." kata Doughman. Ditambahkannya, petugas-petugas itu mencatat nama dan alamat e-mail teman-temannya.
Sementara itu, teman seperjalanan Doughman, Sasha Al-Sarabi, mengatakan, sejumlah agen menariknya lalu memintanya membuka akun Facebook.
Nama Arab
Kedua perempuan itu mengatakan, mereka didekati karena nama mereka berbau Arab dan berkali-kali ditanya tentang tujuan kunjungan, apakah mereka berniat berkunjung ke Tepi Barat dan berpartisipasi dalam demonstrasi anti-Israel.
Setelah mengakui pernah bergabung dengan kelompok pegiat pro-Palestina saat masih kuliah, Doughman menegaskan bahwa kunjungan sepekan itu murni untuk berlibur.
Doughman mengaku ditanya apakah "merasa lebih Arab atau Amerika'. "Pasti kamu merasa lebih Arab," katanya menirukan petugas itu. "Saya bilang saya dilahirkan di AS dan belajar di sana, tetapi dia tidak menyukai jawaban itu.
Setelah diinterogasi selama berjam-jam, kedua perempuan itu diberi tahu bahwa mereka tidak mendapat izin masuk Israel. Keduanya lalu diperiksa fisik dan ditempatkan di rumah detensi sebelum dikirim pulang ke AS keesokan harinya. Doughman mengaku tidak boleh mengontak Kedubes AS.
Juru bicara Kedubes AS, Kurt Hoyer, mengatakan, pihaknya tidak bisa berkomentar tentang kasus-kasus khusus. Namun, katanya, kedubes "biasanya" dihubungi bila ada warga AS yang tidak boleh masuk Israel atau negara lain.
Kedubes terus melakukan kontak dengan pihak berwenang selama proses berlangsung sampai keputusan untuk masuk ke suatu negara itu diambil.
Menurut Hoyer, AS menekankan kepada semua pemerintah negara asing "untuk memperlakukan pemegang paspor AS sebagai warga negara AS, apa pun suku bangsa mereka...". Pada saat bersamaan, lanjut Hoyer, setiap negara berdaulat berhak memutuskan siapa yang boleh masuk ataupun tidak.
Kasus Tamari dan Doughman ini pertama kali dilaporkan oleh blog berhaluan kiri Mondweiss.
Setelah mengakui pernah bergabung dengan kelompok pegiat pro-Palestina saat masih kuliah, Doughman menegaskan bahwa kunjungan sepekan itu murni untuk berlibur.
Doughman mengaku ditanya apakah "merasa lebih Arab atau Amerika'. "Pasti kamu merasa lebih Arab," katanya menirukan petugas itu. "Saya bilang saya dilahirkan di AS dan belajar di sana, tetapi dia tidak menyukai jawaban itu.
Setelah diinterogasi selama berjam-jam, kedua perempuan itu diberi tahu bahwa mereka tidak mendapat izin masuk Israel. Keduanya lalu diperiksa fisik dan ditempatkan di rumah detensi sebelum dikirim pulang ke AS keesokan harinya. Doughman mengaku tidak boleh mengontak Kedubes AS.
Juru bicara Kedubes AS, Kurt Hoyer, mengatakan, pihaknya tidak bisa berkomentar tentang kasus-kasus khusus. Namun, katanya, kedubes "biasanya" dihubungi bila ada warga AS yang tidak boleh masuk Israel atau negara lain.
Kedubes terus melakukan kontak dengan pihak berwenang selama proses berlangsung sampai keputusan untuk masuk ke suatu negara itu diambil.
Menurut Hoyer, AS menekankan kepada semua pemerintah negara asing "untuk memperlakukan pemegang paspor AS sebagai warga negara AS, apa pun suku bangsa mereka...". Pada saat bersamaan, lanjut Hoyer, setiap negara berdaulat berhak memutuskan siapa yang boleh masuk ataupun tidak.
Kasus Tamari dan Doughman ini pertama kali dilaporkan oleh blog berhaluan kiri Mondweiss.
Israel terus memperketat keamanan menyusul serangkaian kejadian terkait para aktivis internasional dalam beberapa tahun terakhir. Termasuk konfrontasi berdarah antara pasukan angkatan lautnya dan armada pembawa bantuan internasional dua tahun lalu.
Sejak itu Pemerintah Israel melarang para aktivis internasional untuk datang ke negara itu dengan armada kapal (flotilla) serupa. Pejabat Israel juga mengakui mereka menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter untuk mengidentifikasi para aktivis sebelumnya dan mencegah mereka naik pesawat ke Israel.
Emanuel Gross, seorang dosen di Universitas Haifa, mengatakan, praktik seperti itu seharusnya ilegal. "Di Israel, Anda memerlukan surat perintah untuk membuka komputer seseorang," katanya. "Saya, kok, tidak yakin para petugas itu sempat meminta hakim untuk mengeluarkan surat tersebut dan saya juga ragu seorang hakim mau membuat surat itu."| Kistyarini, Kompas